Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah yang serius karena melibatkan populasi anak yang meliputi 30% populasi total di Indonesia.
Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001, dilaporkan ADB mengenai 47% balita. Padahal, kekurangan besi pada masa kanak-kanak terutama pada 5 tahun pertama kehidupan dapat mengganggu tumbuh kembang yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup anak. Penelitian Asian Development Bank menyatakan bahwa terdapat 22 juta anak Indonesia yang terkena anemia yang menyebabkan penurunan IQ 5-15 poin dan memiliki prestasi sekolah yang buruk.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan anak jatuh dalam keadaan kekurangan besi, antara lain asupan makanan yang tidak mencukupi kebutuhan besi, cepatnya pertumbuhan saat bayi dan remaja sehingga kebutuhan besi yang sangat tinggi tidak dapat dicukupi oleh makanan dan simpanan besi tubuh, kecacingan, dan adanya penyakit penyerta lainnya.
Pada kelompok usia 0-1 tahun, ADB terjadi karena simpanan besi tubuh yang kurang akibat berat badan lahir rendah, bayi kurang bulan, bayi kembar, riwayat perdarahan pada proses persalinan, dan pada bayi yang lahir dari ibu yang mengalami anemia selama kehamilan. Pada kelompok usia ini ADB dapat pula terjadi akibat laju pertumbuhan cepat atau perdarahan kronis misalnya pada alergi susu sapi.
Pada kelompok usia 2-5 tahun, ADB dapat terjadi karena asupan besi kurang akibat perilaku makan anak atau pemberian makanan yang tidak adekuat, infestasi parasit (kecacingan), gangguan penyerapan zat makanan (malabsorbsi), atau perdarahan kronis misalnya akibat polip di usus atau divertikulum Meckel.
Pada kelompok usia 5 tahun-remaja, ADB dapat terjadi karena asupan besi kurang, kecacingan, serta perdarahan kronis. Pada kelompok usia ini, menstruasi menjadi faktor yang kerap menyebabkan remaja putri kerap jatuh pada ADB.
Kekurangan besi sejak dalam kandungan sampai usia 2 tahun akan mengganggu perkembangan cabang dan sambungan antara sel saraf otak sehingga menghambat pembentukan zat neurotransmitter yang akan memperlambat proses berpikir. Kekurangan besi pada anak dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kecerdasan seperti gangguan pengendalian emosi, perubahan temperamen, sulit memusatkan perhatian, lambat dalam menerima dan memproses informasi, gangguan memori, serta lambat dalam proses pembelajaran.
Mengingat besaran masalah yang luas dan dampak buruk ADB yang bersifat jangka panjang, maka Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada bulan April 2011 mengeluarkan Rekomendasi Suplementasi Besi untuk Anak.
IDAI melalui Satuan Tugas Anemia Defisiensi Besi (Satgas ADB) mengajurkan suplementasi besi untuk anak, dengan priortias usia balita (0-5 tahun), terutama usia 0-2 tahun. Mengingat Indonesia memiliki angka kejadian ADB tinggi, maka pemberian suplementasi besi dapat diberikan tanpa uji tapis (screening) terlebih dahulu. Hal ini sudah direkomendasi oleh WHO sejak tahun 1998. Pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) baru dianjurkan dilakukan berkala sejak usia 2 tahun.
Selain suplementasi besi pada bayi dan anak, IDAI juga menganjurkan agar ibu yang memberikan ASI eksklusif mengonsumsi makanan yang cukup mengandung besi seperti ikan, hati, dan daging. Jika asupan makanan tidak dapat mencukupi, maka dianjurkan suplementasi besi pada ibu. Perilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan sebelum makan juga sebaiknya dilakukan untuk mencegah penularan infeksi parasit pada ibu dan anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar